Page 121 - DS_Disember2019_web
P. 121
CERPEN | MASTERA
Ia ditempatkan di Tasikmalaya. mereka berpelukan mesra, tersenyum, mengenakan
Tinggal sendiri dengan Risma, mulai kami sedari pakaian dingin. Tak tahu aku, foto itu diambil di Paris,
Roma, atau New York.
bagaimana kalau Risma nanti juga harus meninggalkan
rumah. Siapakah akan menemani Mami? Lalu, tahu- Aku merasakan dua dunia terpisah jauh. Kuingat
tahu Risma hamil. Mahu tidak mahu, menikahlah dia. beberapa kali saat aku mengunjungi Teh Rani di Paris.
Aku kurang tahu suaminya kerja apa. Mereka pindah ke Terbayang St Germain-des-Pres. Di sekitar kawasan
Malangbong. gemerlap itu letak apartmen Teh Rani.
*** Kuingat kebiasaannya ketika berniat jalan-jalan. Selalu
saja baru berjalan beberapa saat dia mengajak berhenti
Apakah yang bisa kami berikan kepada Mami? Teh Rani dulu di kafe. Ini mah duduk-duduk, bukan jalan-jalan,
kutahu berbuat sebisa-bisanya. Rumah dirombak untuk komentarku. Dia cuma tertawa. Rasanya, semua bangku
membuat kenyamanan pada Mami yang tinggal sendiri. kafe terkemuka di kawasan Quartier Latin pernah kami
Diharapkan itu menghibur Mami. Apa pun keperluan duduki. Kami mencari-cari alasan, untuk makan apa saja
Mami diharapkan Mami segera memberi khabar. Cuma atau minum apa saja. Di setiap tempat, kami membenarkan
sepengetahuanku, Mami jarang-jarang sekali menelefon diri untuk minum wain. Atau espresso.
anak untuk menyatakan meminta sesuatu. Hal yang
bahkan tak mungkin dilakukannya. Aku perhatikan meja kecil di samping ranjang. Ada
gelas teh. Makanan terbungkus daun yang sudah dimakan
Kegembiraan Mami sejatinya cuma kalau anak- sebahagian. Dulu, semasa kami semua masih tinggal di
anak dan cucu di rumah. Rumah ramai. Apalagi dengan rumah, makanan berlimpah. Mahu makan apa saja dan
kehadiran Teh Rani. bila-bila saja, selalu tersedia. Selintas teringat, di Paris,
Teh Rani sering mengajakku ke restoran kegemarannya,
Teh Rani—meski tak terucap—bukannya tak faham restoran Afrika dengan daging-daging terbaik yang
hal itu. Hanya saja—semua dalam posisi seperti kami— disajikan dengan serba bakar. Kami tak bisa mengekang
juga tahu, apakah yang bisa kami lakukan? Kami punya hedonisme dalam soal makan.
kehidupan sendiri-sendiri. Menelefon setiap saat pasti.
Meski, kami sedari itu juga kurang cukup. Bahkan “Kami tidak masak, soalnya tanggung masak hanya
kadang meresahkan diri sendiri, kalau menangkap Mami untuk Mami,†Kokom menerangkan mengenai makanan
tampaknya kurang sihat. Setiap resah akan keadaan Mami, yang tersisa di meja.
Teh Rani akan terus-terusan menelefonku. Bertanya ini-itu,
bilakah terakhir menengok Mami, dan seterusnya. ***
Sekarang ini baru saja Teh Rani meninggalkan Mami Duduk di pinggir ranjang, aku ikut-ikutan memicit-
setelah berlibur di situ sekitar satu minggu. Seusai itu Teh micit kaki Mami yang dibalut selimut tebal. Aku tahu
Rani ke Jakarta, sempat ketemu aku sebentar, sebelum Mami tidak tidur, dan pasti juga tahu kehadiranku.
pulang ke Bali dan kemudian balik ke Paris.
“Mami sakit…,†aku bertanya, “Mami yang sihat.
Teh Rani menelefonku agar menengok Mami. Ia Nanti kita bikin pesta, bikin bakar-bakaran di halaman,â€
sempat pula bilang rencananya akhir tahun. Ia akan aku melanjutkan.
bertahun baru di New York, bersama-sama Marita, anak
perempuan semata wayangnya. Dia diam saja. Mata tetap terpejam. Bersama Kokom
aku terus memicit-micit atau mengusap-usapnya. Di
Aku tak jadi ke Bangkok. Aku akan segera menengok matanya yang terpejam, beberapa kali keluar air mata.
Mami, janjiku pada Teh Rani. Kokom dan aku bergantian mengelap dengan tisu.
*** “Sejak Teh Rani pergi …,†Kokom berbisik padaku,
“Sering nangis sendiri ….â€
Rumah sepi. Mami di kamar, tidur ditemani Kokom
yang ikut tidur di kasur sembari mengurut-urut Mami. Aku mengangguk.
Asep berbisik, Mami begitu sejak Teh Rani pergi. Lama-lama Mami bergerak.
“Punggung Mami sakit …,†katanya pelan. Tetap
Bisa kurasakan perasaan sepi Mami. Kuperhatikan dengan mata terpejam.
sekeliling kamar. Dinding dan lantai abu-abu yang dalam Aku mengusap-usap punggungnya. Asep dan Kokom
keadaan biasa bercita rasa berkelas, pada saat seperti senyum-senyum. Kami semua tahu, Mami cuma mencari-
ini rasanya malah menambah rasa dingin. Apalagi, cari.
belakangan hujan terus-terusan turun. Daerah ini tambah “Sakit sekali ya Mi …,†tanyaku. “Sampai menangis
sering berkabut. ….â€
“Tadi Mami bermimpi …,†ucapnya.
Di dinding kamar terpajang foto Teh Rani dan Marita. “Mimpi apa, Mi,†tanyaku.
Marita sudah besar. Sudah hendak masuk sekolah fotografi Mami diam saja. Baru beberapa saat kemudian dia
di Paris. Kuamati cantiknya ibu anak ini. Dalam foto itu bicara.
23 Dewan Sastera Bil. 12 2019